Senin, 20 Juni 2016

Syari'at, Thariqat dan Haqiqat



Inilah jalan penghidup keyakinan syari'at, thariqat, haqiqat menuju kemuliaan dengarlah yang tersirat dalam gambaran yang tersurat dalam bisikan.
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.

Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.

Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.

Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.

Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.

Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.

Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".

Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.

Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.

Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.

Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."

Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya".

Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.

Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.

Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.

Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.

Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.

Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.

Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.

Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".

Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".

Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.

Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.

Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".

Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.

Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.

Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".

Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.

Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.

Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.

Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".

Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.

Wajib Bersyari'at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.

Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.

Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.

Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.

Ma'rifatullah

Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.

Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.

Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.

Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".

Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.

Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.

Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".


Makna Syahadat


Syahadat adalah merupakan rukun islam yang pertama, dimana seseorang yang ingin menjadikan Islam sebagai cara hidupnya haruslah terlebih dahulu mengucapkan dua kalimah Syahadat ini,  yaitu :
“ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “
Jadi selama orang itu tidak melafazkan “ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasullah “  maka selama itu pula orang itu tidak bisa di golongkan (diiktiraf) sebagai seorang islam.
Dalam pengertian syariat dua kalimah syahadat ini adalah :
“ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “
diartikan :
aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah melainkan
Allah s.w.t dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah utusan Allah s.w.t.
Sungguh banyak diantara kita yang hanya pandai melafazkan ucapan dua kalimah syahadat ini, tetapi jarang sekali yang ingin mengkaji atau mempelajari tentang hakekat pengertian maksud dan tujuan syahadat itu sendiri, kebanyakan kita hanya mengikuti keluarga kita, mendengar ibu dan bapak kita melafazkan syahadat, maka kitapun turut berbuat demikian, namun kita tidak pernah mau bertanya kenapa kita harus melafazkan “ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasullullah “.
Dan kenapa juga kita tidak boleh melafazkan satu
bentuk lafaz penyaksian yang lain daripada kalimah syahadat di atas.
Disamping itu tidak ada yang pernah bertanya kenapa kalimat itu bisa  membawa kepada pengertian “ Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah s.w.t. ” sedangkan didalam kalimah tersebut tidak terdapat perkataan Tuhan (Rabbi) dan tidak terdapat perkataan sembah (abduhu), tetapi didalam penafsiran arti  bahasanya oleh para ulama syariat ada terdapat perkatan Tuhan dan Sembah. Dan kenapa syahadat tidak boleh dikatakan begini :
“ Asyhadu alla
rabbi nakbuduhu illallah “
yang tentunya lebih sesuai untuk diartikan dengan “ Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah s.w.t. ”
Tetapi ternyata kita tetap diarahkan oleh Islam supaya melafazkan dengan lafaz syahadat “ asyhadu alla illaha illallah “ yang membawa pengertian kepada Tiada yang nyata hanya Allah s.w.t.
Jadi bisa disimpulkan disini bahwa pengertian yang dibuat oleh para alim ulama syariat adalah jauh tidak sesuai dengan matlumat sebenarnya yang hendak dinyatakan oleh syahadat itu sendiri. Disamping itu persoalanya adalah, apakah perkataan Allah s.w.t. didalam syahadah itu boleh di diartikan sama dengan Tuhan?
Begitu juga bila kita melafazkan “ wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “, apakah benar membawa suatu pengertian kepada “ dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad s.a.w. itu utusan Allah s.w.t. ”. Jika benar demikian mengapa Nabi
Adam a.s.  bapak sekalian manusia juga mengucap syahadatnya dengan mengakhirkan syahadatnya itu dengan lafaz  wa asyhadu anna muhammadarrasulullah ? dan seterusnya Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s.,  semua Nabi dan Rasul, Wali-wali Allah, sebelum lahir Nabi Muhammad s.a.w. mengucap dengan ucapan yang sama, atau mungkin ada yang berpendapat bahwa Nabi-nabi sebelum lahir Nabi Muhammad s.a.w. mengucap dengan cara lain? jika benar begitu apakah bisa dikatakan bahwa Islam ini hanya baru ada pada zaman Nabi Muhammad s.a.w.?  dan benarkah Islam tidak pernah ada sebelumnya? dan jika benar ucapan “ Muhammad “ itu sama kepada Nabi Muhammad s.a.w., kenapa  pula Nabi Muhammad s.a.w. juga mengucap seperti kita mengucap sekarang? Dan kenapa pula Rasulullah s.a.w. tidak mengucap begini : “ Asyhadu alla rabbi nakbuduhu illallah wa asyhadu anna rasulullah “.
Yang lebih sesuai membawa kepada pengertian “ Aku bersaksi tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah s.w.t. dan aku bersaksi bahwa akulah pesuruh Allah s.w.t. ”
Masih banyak hal-hal yang perlu dipertanyakan apabila kita melangkah, dan berusaha mencari dan menggali pengertian syahadat yang sebenar-benarnya.
Adapun kalimah syahadat itu adalah :
“ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “.
Dan sesungguhnya “ Asyhadu alla illaha illallah “ itu adalah dinamakan Syahadat Tauhid dan kalimah “ wa asyhadu anna muhammadarasulullah “ adalah dinamakan syahadat Rasul.
Adapun kalimah “Asyhadu alla illaha illallah “ dinamakan Syahadat Tauhid sebab di dalam kalimah tersebut kita bersaksi dengan sepenuh rasa bahwa tiada yang lain hanya Allah s.w.t.  semata-mata, tiada sekutu baginya didalam segala hal, dan tiada sesuatu pun yang bercampur  aduk dengannya kecuali dia semata-mata.
Oleh sebab itulah kita bersaksi dengan diri kita sendiri tiada yang nyata pada kita hanya Allah s.w.t. semata, kita nafikan tubuh kita dan kita isbabkannya kepada nyatanya Allah s.w.t. semata-mata (diri batin kita).
Adapun kalimah ” wa asyhadu anna muhammadarasulullah “ itu Syahadat Rasul sebab pada kalimah ini kita melafazkan bersaksi bahwa yang menyampaikan dan menanggung diri rahasia Allah s.w.t. adalah “ Muhammad “ yaitu diri zahir kita dan dengan melafazkan kalimah zahir tersebut maka berikrar dan bersaksilah kita dengan diri kita sendiri bahwa diri zahir kita tetap akan menanggung rahasia Allah s.w.t. dan akan menjaganya untuk selama-lamanya.
Adapun hakikat ketuhanan itu adalah diri bathin kita (Rohani) dan hakikat kerasulan itu adalah diri zahir kita (Jasmani). Diri bathin adalah sebenar-benar diri yang menyatakan rahasia Tuhan, dan untuk menyatakan diri rahasia Allah tersebut adalah zahir kita. Jadi diri zahir kitalah yang menyatakan rahasia ketuhanan Allah s.w.t. Oleh yang demikianlah diri zahir kita ini digelar Hakikat Rasul.
Bila kita melafazkan : “ Asyhadu alla illaha illallah “
maknanya :
Tiada nyata hanya Allah s.w.t.
Dari sini jelaslah kalimah :
“ Asyhadu alla illaha illallah “
itu sudah jelas bagi menyatakan tentang diri bathin kita. Bila saja kita lafazkan kalimah tersebut dengan jelas kita mengakuinya dengan sesungguhnya,  bahwasanya “ Tiada nyata hanya allah s.w.t. “ dialah rahasia Allah s.w.t. yang dikandung  oleh tubuh zahir kita.
Adapun  kalimah :
“ Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “
Adalah menyatakan diri kasar kita (jasad) karena hakekat bentuk manusia itu berhakekat dengan huruf Mim karena itu bila kita melafazkan kalimah : “ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “ maka kalimah yang telah dilafazkan itu adalah meliputi pada menyatakan diri bathin dan diri zahir kita (Rohani dan Jasmani) yaitu kita menyaksikan yang dikandung oleh tubuh kasar kita adalah diri rahasia Allah s.w.t. dan diri kasar inilah merupakan sarungnya.
seperti firman Allah s.w.t. didalam hadis Qudsi :
“ Al insanu sirri wa anna sirru “
artinya : Manusia  itu adalah rahasiaKu dan Akulah rahasianya
Allah s.w.t. mengkaruniakan manusia untuk memegang dan bertanggung jawab terhadap rahasiaNya, itulah sebabnya Allah s.w.t. telah memberi satu penghormatan besar terhadap kejadian manusia.
Al-Quran :…
Artinya : Sesungguhnya Aku karuniakan manusia itu dengan satu kejadian yang sebaik-baiknya.
Kejadian manusia adalah satu-satunya kejadian yang paling sempurna dan tersusun rapi pada zahir dan bathin.
Duduknya kemuliaan manusia adalah karena manusia sajalah kejadian Allah s.w.t. yang sanggup memegang rahasiaNya. Sedangkan sebelumnya Allah s.w.t. sendiri pernah menawarkan rahasia ini kepada langit, bumi, gunung-gunung untuk menanggungnya.
seperti firman Allah s.w.t. didalam Al Quran : …
artinya : Sesungguhnya rahasia Aku ini pernah Ku tawarkan kepada langit, bumi, gunung-gunung tetapi mereka enggan menerimanya karena takut mengabaikannya tetapi yang sanggup menerima adalah manusia.
Sebab itu bila kita mengucap :
“ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “.
maka berarti kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya Allah s.w.t. semata-mata dan tubuh zahir kita ini adalah bentuk nyata pada rahasia Allah s.w.t. semata-mata.
Adapun ketika sholat kita berdiri menyaksikan diri kita sendiri,            kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah s.w.t.  dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah s.w.t.  semata-mata. Tiada sesuatu yang kita punya kecuali hak Allah s.w.t. semata-mata. Jika diibaratkan maka diri kita ini hanya sebagai sebuah kotak radio yang bisa hidup dengan mengharapkan siaran dari stasiun pemancar  semata-mata dan perlu diingatkan bahwa berfungsinya radio tersebut karena dapat menerima gelombang siaran dari stasiun pemancar tersebut. Jadi jika habis siarannya atau rusaknya penerimaan siaran maka sudah tentu kotak radio tersebut akan dibuang menjadi sampah, maka begitulah kita.
Kita akan berguna disisi Allah s.w.t. jika kita dapat menanggung amanah rahasiaNya itu serta dapat berfungsi dan bertindak mengenal diri kita sendiri. Karena bila saja kita dapat mengenal diri kita, maka dengan itu pulalah kita dapat mengenal diri Allah s.w.t. itu sendiri.
seperti firman Allah s.w.t. didalam Hadis Qudsi :
“ Man arafa nafsahu fakad arafa rabbahu “
artinya :
Barang siapa mengenal dirinya maka kenallah Tuhannya.
Oleh karena itu jika kita tidak mengenal diri kita maka kita akan lebih hina daripada sampah di sisi Allah s.w.t.
Adapun sholat itu bukan berarti menyembah, karena bila disebut sembah maka sudah tentu membawa pengertian bahwa ada yang menyembah dan ada pula yang kena sembah, dan tiap-tiap yang di sembah sudah pasti ada di hadapan yang menyembah.
Karena itu bagaimana halnya dengan Allah s.w.t. yang bersifat berlainan dengan benda-benda yang ada dialam semesta ini, dan Allah s.w.t. tidak bertempat dimana atau dimana, jika saja pengertiannya Allah s.w.t.  dihadapan kita maka artinya Allah s.w.t. bertempat. Dan jika ini itikad kita maka kafir-lah jadinya.
Lagi pula bagaimana bisa dikatakan sholat itu diartikan sebagai meyembah, sedangkan manusia itu sendiripun adalah diri rahasia Allah s.w.t.
seperti firman Allah s.w.t. didalam Hadis Qudsi :
“ Al insanu sirri wa ana sirru “
Artinya : Manusia itu adalah rahasiaku dan diri Akulah rahasianya.
Bahwa sholat itu sebenarnya adalah satu cara menyaksikan diri sendiri, dan sesungguhnya diri kita itu adalah diri Allah s.w.t. semata-mata.
Seyogyanya diingatkan bahwa keadaan yang dinyatakan diatas, bukanlah sekali-kali kita boleh beritikad bahwa Allah s.w.t. itu duduk didalam diri kita, jika kita beranggapan begitu maka kafir juga jadinya, dan keadaan yang diterangkan diatas juga bukan sekali-kali boleh beritikad bahwa diri batin kita (roh) itu Tuhan dan bertuhankan diri. Jika demikian kafir pula jadinya.
Perlu sekali diingatkan bahwa kita ini adalah sebagai kotak radio yang menerima gelombang radio dan rahasia radio, maka untuk menyatakan rahasia radio tersebut adalah stasiun pemancar yang memancari siarannya ke kotak radio, kemudian berbunyilah radio sebagaimana siaran asalnya pada stasiun pemancar.
Begitulah dengan Allah s.w.t.  Dia memuji diri-Nya dengan diri rahasia-Nya yang dikandung oleh manusia.
seperti firman Allah s.w.t. di dalam Hadis Qudsi yang maknanya :
Aku suka mengenal diri-Ku sendiri
Lalu Aku jadikan makhluk ini
Lalu Aku perkenalkan diri Aku
Kepada mereka dan lalu mereka
Pun mengenal Aku
Berawal yang dimaksudkan dengan makhluk didalam Hadis Qudsi diatas adalah manusia.
Adapun yang dikatakan sholat itu berdiri menyaksikan diri karena semasa sembahyang kita wajib berkata :
“ Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah “.
Artinya : Bersaksilah aku tiada yang nyata kecuali Allah s.w.t. (diri bathin) dan bersaksilah aku bahwa (diri zahir) itu adalah penyata rahasia allah s.w.t. (diri bathin)
Disini terang dan jelaslah bahwa kalimah penting itu dilafazkan oleh kita bagi tujuan supaya kita menilik diri kita dengan mata hati kita bahwa akulah yang membawa rahasia Allah s.w.t.  semata-mata tiada sesuatu pada kita hanya Allah s.w.t. semata-mata.
Ucapan penyaksian ini bukan saja dilafazkan oleh lidah, tapi harus dikatakan bersama oleh semua anggota tubuh zahir dan bathin kita, masing-masing serentak berdiri menyaksikan diri  Allah s.w.t. semata-mata.
Pada saat kita melafazkan syahadat tersebut, maka gemetarlah seluruh tubuh, jiwa raga, bersamaan dengan itu terasalah oleh kita satu kelezatan yang amat sangat, tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, kecuali dirasakan sendiri oleh mereka yang pernah mengalami dan sampai pada martabat ini.
Untuk menegaskan hal diatas Allah s.w.t. telah berfirman didalam Al Quran :
Artinya :
Sesungguhnya bagi mereka yang beriman apabila saja disebut Allah s.w.t. niscaya gemetarlah hati mereka dan apabila dibaca ayat-ayatnya maka bertambahlah iman mereka dan kepada Allah s.w.t. mereka bertawakal.
adapun :
“ Asyhadu alla illaha illallah “
Bersaksilah aku tiada yang nyata hanya Allah s.w.t.
yaitu bersaksilah aku dengan telinga aku, mata aku, otak aku, kulit aku, daging aku, kaki tangan aku dan seluruh tubuh zahir dan bathin aku. Tiada yang nyata kecuali Allah s.w.t
Artinya aku melihat dan mendengar dengan penglihatan dan pendengaran Allah s.w.t., tiada aku merasa Allah s.w.t.-lah merasa, tidak aku berkehendak Allah s.w.t yang berkehendak, tidak aku berkuasa Allah s.w.t. yang berkuasa.
Tidak aku ……melainkan….,    tidak-aku ……… melainkan …..
Hanya allah s.w.t. semata-mata.
Singkat kata semua perlakuan kita hendaklah dilihat pada pandangan sepenuhnya kepada Allah s.w.t semata-mata.
Seperti firman Allah s.w.t…
Artinya : Dimana saja kamu menghadap disitulah wajah Allah s.w.t.
Cara ini adalah dengan kita menafikan diri kita yang zahir ini dan kita mengisabkan diri kita yang bathin
Adapun           :
“ Wa asyhadu anna muhammadarrasullullah “
Artinya :
Dan bersaksilah aku bahwa diriku yang zahir ini adalah menanggung diri rahasia Allah s.w.t. semata-mata.
Dalam kalimah ini kita bersaksi dengan diri kita sendiri  bahwa diri kita jasmani inilah yang menanggung dan membawa rahasia Allah s.w.t. (diri bathin) dan diri kita yang zahir inilah juga yang menjadi dalil awal akan wujudnya Allah s.w.t. Tuhan semesta alam.
Dengan demikian maka kalimah syahadah itu adalah kalimah hakekat yang menyatakan penyambungan diantara  badan jasmani dengan badan rohani kita. Kalimah ini tidak boleh dipisahkan dan diceraikan diantara satu dengan lainnya.
Setengah ulama berpendapat bahwa adalah tidak boleh bagi kita untuk melafazkan kalimah syahadah tersebut dengan cara mewakafkan bacaan dimana-mana, bahagian, dua kalimah syahadah tersebut tidak boleh kita mewakafkan di tengah kalimah  seperti yang diamalkan oleh kebanyakan orang-orang awam, karena kita ketahui bahwa tubuh dua kalimah syahadat tersebut adalah gabungan rohani dan jasmani kita.
Oleh karena itu tidak boleh kita melafazkan dengan mewakafkan kalimah tersebut pada mana-mana  bahagian kalimah, tapi seharusnya  dibaca secara terus menerus didalam satu nafas.
disamping itu hendaklah dibaca dengan perlahan, panjang dan teratur mengikuti sebutan huruf dan baris masing-masing supaya kelezatan kalimah penyaksian ini dapat dirasai sepenuhnya oleh kita sebagaimana yang pernah dinikmati oleh orang-orang ariffinbillah.
Adapun ucapan dua kalimah syahadat yang hanya dilafazkan di mulut tanpa dimengerti apakah sebenarnya hakekat syahadat tersebut adalah dinamakan “ Syahadat Tanda “
Maksud dari hakikat Syahadat tanda ini adalah bertujuan supaya orang yang mengaku diri mereka Islam turut sama mengiktirafkan, bahwa siapa yang mengucap dua kalimah syahadat semacam tadi adalah beragama Islam seperti mereka juga.
Tetapi sebenarnya syahadat semacam itu adalah kosong dan tidak memberi arti apa-apa serta tidak bermakna, artinya jika diibaratkan pisau maka pisau semacam itu adalah pisau tumpul yang tidak pernah mengerti makna tajam. dia hanya semata-mata bergelar pisau tetapi tidak berguna untuk apa-apa karena tajam itulah sebenar-benarnya guna dari pisau itu.
Oleh sebab itu maka bagi mereka yang hanya mengerti melafazkan dua kalimah syahadat  tetapi tidak mengerti daripada hakekat  syahadat  maka manusia sebegini adalah manusia ikut-ikutan (Islam karena manusia) dan dia bukan sekali-kali Islam karena Allah s.w.t. dengan itu maka untuk menjadi Islam karena Allah maka seseorang itu haruslah mengetahui dan memahami hakekat syahadat yang sebenarnya.
Manusia yang bersyahadat tanda adalah manusia yang mengakui bahwasanya dirinya adalah Islam tetapi pada hakikatnya kosong tiada berisi apapun. Mereka merasai tanggung jawab  terhadap dirinya dan terhadap Tuhannya. Mereka kosong seperti sebiji padi yang tidak berisi (hampa). dia tidak tahan untuk menghadapi ujian Allah s.w.t. dan bergerak mengikuti arus tanpa tujuan. Bila saja ditiup angin ujian niscaya terbanglah ia mengikuti arusnya, dan manusia ini tidak mungkin mendapat petunjuk daripada Tuhannya dan rugi. Orang-orang semacam ini  bolehlah kita sebut sebagai manusia Islam kulit. mereka ini tidak mempunyai pegangan malahan pegangannya adalah bergantung terus kepada pegangan manusia lain.
Mereka juga bolehlah dianggap sebagai burung Beo yang pandai berkata-kata tapi dia sendiri tidak memahami apa yang dikatakan. Oleh sebab itu janganlah kita menjadi pisau tumpul atau burung Beo yang ingin menjadi manusia.
Dengan demikian saya menghimbau kepada kita semua pahamilah kalimah syahadat ini baik-baik, karena hal ini adalah pokok atau asas kalimah untuk menentukan kita dengan Allah s.w.t. kalimah pokok yang menjadi  dasar ketuhanan dan asas untuk membedakan kita dengan yang lain.

Senin, 13 Juni 2016

MENGENAL 7 NAFSU DAN SIFAT-SIFATNYA



    Mengetahui nafsu (dan sifat-sifatnya) itu salah satu sebab dan syarat makrifat/mengenal kepada Alloh. Sebab Rosululloh saw. Bersabda :
من عرف نفسه فقد عرف ربه “siapa yang bisa mengetahui/mengenal nafsunya maka dia bisa mengenal Tuhannya (makrifat billah).
Para ulama’ ahli tasawwuf berkata :
( 1). والجهل با لله حرام ومعرفة الله واجب “Bodoh (tidak mengenal) Alloh itu hukumnya haram, dan makrifat (mengenal) Alloh itu hukumnya wajib.                                         (Ket kitab متممات جامع الاصول  hal 228).
(2). اعلم ان معرفة النفس فرض عين لكل فرد من افراد الإنسان لأن معرفة الرب موقوفة على معرفة النفس لقوله عليه الصلاة والسلام
من عرف نفسه فقد عرف ربه”.
  “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengetahui nafsu itu hukumnya wajib atau fardhu ‘ain, pada tiap-tiap manusia, sebab mengenal Tuhan itu syaratnya harus mengenal nafsunya. Karena Nabi telah bersabda : barang siapa mengenal nafsunya maka ia bisa mengenal Tuhannya. (Ket kitab متممات جامع الاصول صحيفه  hal 230).
Apakah nafsu itu ?
Nafsu ialah jisim(bentuk) yang halus yang diciptakan oleh Alloh dua ribu tahun sebelum Alloh menciptakan jasad. Adapun jisim tersebut sebelum berhubungan/bertemu dengan jasad itu disebut Ruh, dan ketika bertemu/berhubungan dengan jasad disebut Nafsu, Ruh sebelum mengenal apa-apa (selain Alloh), Ruh itu selalu Istifadhoh dihadapan Alloh tanpa perantara,. Adapun Nafsu berhubung sudah berkumpul pada jasad lalu bisa mengenal selain Alloh, yang menyebabkan lupa dan jauh dengan Alloh, dan menjadikan hijab untuk wushul /Musyahadah kepda Alloh, Istifadhoh minalloh dan ma’rifat billah. Apabila Nafsu sudah seperti itu maka membutuhkan beberapa peringatan(pengobatan) seperti memperbanyak dzikir, Tawajjuh, Mujahadah,Muroqobah dan mauidhoh hasanah, supaya segera ingat dan taqorrub kepada Alloh, bisa wushul, Musyahadah, makrifat dan Istifadhoh minalloh.
  Alloh berfirman :  وذكر فان الذكري تنفع المؤمنين
 “ Hai Muhammad ingatkan( berilah peringatan pada umatmu), sebab peringatan itu bermanfaat pda orang-orang yang beriman.”  (Ket, kitab اسعاد الرفيق  juz 2. Hal 18).
NAFSU MANUSIA ITU ADA TUJUH
 (1). النفس الامارة  Nafsul-amaroh. Yaitu: Nafsu yang selalu memerintahkan kejelekan. Alloh telah berfirman dalam Al-qur’an : وان النفس لامارة بالسوء
  “Sesungguhnya nafsu itu selalu perintah kepada kejelekan”.
Adapun sifat-sifatnya diantaranya: 1. البخل Bakhil. 2. الحسد  Dengki. 3. الجهل  Bodoh. 4. الكبر  Sombong. 5. الغضب  Marah. 6. الحرص Sangat cinta dunia (grangsang). 7. الشهوة  Senang melakukan perkara jelek/hina.
Adapun warna sinar/cahayanya yaitu biru, Tempatnya di tengah-tengah
antara kedua alis mata(latifah nafs) لطيفة النفس .   Sehingga orang ahli thoriqoh menggunakan lathifah-lathifah untuk dzikir Alloh (الله الله الله  ) supaya lathifah penuh dengan Nur Ilahiyyah, penuh hidayah, Inayah dan mendapat rahmat dari Alloh, sehingga sifat-sifat madzmumah(tercela) yang bertempat pada lathifah bisa terusir dan sirna, dan diganti dengan sifat-sifat Mahmudah(terpuji).
(2).  النفس اللوامه  Nafsu Lauwamah. Yaitu : Nafsu yang selalu menyesali (maido) setelah melakukan maksiat/dosa.                                                              Alloh berfirman :  لا اقسم بيوم القيامة ولا اقسم بالنفس اللوامة “Aku bersumpah demi hari qiyamat, dan aku bersumpah dengan Nafsu yang amat menyesali dirinya sendiri.{ Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan }”
  Adapun sifat sifatnya itu banyak, diantaranya : 1. اللوم  Menyesal(maido)          2. الهوي  Mengikuti kesenangannya. 3. المكر  Menipu. 4. الغيبة  Menggunjing(ngrasani). 5. الرياء  Riyak(pamer). 6. الظلم  Aniaya(dholim). 7. الغفلة  Lupa(pada Alloh). 8. الكذب  Bohong. 9. العجب  Ujub(membanggakan amalnya). Dan lain-lainnya.
  Adapun warna sinar/cahaya Nafsu Lauwamah yaitu Kuning. Tempatnya dibawah susu kiri kira-kira dua jari,( لطيفه القلب  Lathifah Qolbi).        Keterangan:
النفس اللوامة اى النفوس الشريفه التي لاتزال تلوم نفسها في الدنيا والاخرة فاذا اجتهد في الطاعة تلوم نفسها على عدم الزياده واذا قصرت تلوم نفسها على التقصير
 (Nafsu lauwamah yakni nafsu yang mulia, yang tidak habis-habisnya untuk menyesali dirinya sendiri, didalam masalah dunia dan akhrat. Sebab nafsu ini ketika semangat beribadah/taat, ia menyesal karena merasa kurang banyak ketaatannya, apalagi ketika ia berbuat dosa.(ket, Kitab تفسير منير  juz 2, hal 414).
(3). ألنفس الملهمة  Nafsu Mulhimah, yaitu Nafsu yang selalu mendapat ilham supaya berbuat menunaikan kebaikan.                                                                 Alloh berfirman: ونفس وما سواها. فألهمها فجورها وتقواها  “dan nafsu serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Alloh mengilhamkan kepada nafsu itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
 Adapun sifa-sifat nafsu Mulhimah itu banyak sekali, diantaranya :   1. السخاوة Dermawan(loman) 2. القناعة  Qona’ah(menerima). 3. التوبة  Taubat. 4. التواضع  Tawadhu’(merendahkan diri). 5. الصبر  Sabar(tahan uji). 6. التحمل  Mempertahankan(mbetah-mbetahke). 7. الحلم  Lemah lembut(murah hati). Dan lain-lainnya.
    Adapun warna sinar/cahaya Nafsu Mulhimah yaitu merah. Tempatnya dibawah susu kanan kira-kira dua jari,( لطيفه الروح lathifah Ruh).
(4). النفس المطمئنة  Nafsu Mutmainnah yaitu nafsu yang sudah tenang, tentram dan selamat dari sifat-sifat madzmumah (tercela). Alloh berfirman :
يا ايتها النفس المطمئنة ارجعي الى ربك راضية مرضية
 “Hai jiwa/nafsu yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”.
Adapun sifa-sifat Nafsu Mutmainnah itu banyak sekali, diantaranya :  1. الجود  Memberi(lomo). 2. التوكل  Tawakkal(berserah diri kepada Alloh). 3. العبادة  Ibadah (menghamba kepada alloh dengan ikhlas). 4. الشكر  berSyukur (kepada Alloh). 5. الرضى  Ridho(terhadap semua kehendak Alloh). 6. خشية  Takut kepada Alloh. Dan lain-lainnya.
      Adapun warna sinar/cahaya Nafsu Mutmainnah yaitu putih. Tempatnya diantara dada dan susu kiri kira-kira dua jari, (لطيفة السر lathifah sirri).
Keterangan: 
النفس المطمئنة: هي التي لا يستفزها خوف ولا حزن وهذه الخاصة قد تحصل عند الموت  عند سماع البشارة من الملائكة وتحصل عند البعث وعند دخول الجنة بلا شك
  Nafsu Mutmainnah ini nafsu yang tidak terpengaruh dengan perkara-perkara yang menakutkan atau menyusahkan, khususiyyah ini terkadang muncul ketika mati, dan mendapat kabar gembira dari malaikat, terkadang muncul ketika dibangkitkan dari kubur, dan terkadang muncul ketika masuk surga.( Ket kitab  تفسير منير juz 2 hal 446).
(5). النفس الراضية Nafsu Rodhiyah yaitu : Nafsu yang sudah Ridho terhadap semua ketentuan dan kehendak Alloh dalam segala hal.
Dalam al-qur’an disebutkan “  ارجعي الى ربك راضية . Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas.” yakni ridho dengan semua ketentuan Alloh. Atau juga firman Alloh : ورضوا عنه “dan mereka sama ridho dengan ketentuan Alloh”  yakni orang-orang yang mempunyai sifat khosyah/taqwa kepada Alloh mendapat balasan dari Alloh, sehingga jiwa/nafsunya puas dan ridho terhadap semua ketentuan Alloh.
Adapun sifa-sifat Nafsu Rodhiyah itu banyak sekali, diantaranya : 1. الذكر  Dzikir(ingat kepada Alloh). 2. الاخلاص  Ikhlas(hanya kepada Alloh). 3. الوفاء Wafa’( Menepati janji). 4. الورع  Waro’(menjaga dari perkara syubhat terlebih yang haram). 5. الزهد  Zuhud(meninggalkan senang dunia dan merasa cukup dengan yang halal walupun sedikit). 6. الكرامات  Karomah( kemuliaan). 7. العشق  Rindu kepada Alloh.  Adapun warna sinar/cahaya Nafsu Rodhiyah yaitu hijau. Tempatnya seluruh badan lahir batin (لطيفة القالب/سرالسر lathifah Qolab /Sirru-sirri).
(6). النفس المرضية  Nafsu Mardhiyyah yaitu : nafsu yang sudah mendapatkan keridhoan dari Alloh. Dalam al-qur’an disebutkan : ارجعي الى ربك راضية مرضية “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. Yakni : sowan /menghadapnya kepada Alloh sudah diridho oleh Alloh.  Atau firman Alloh : رضي الله عنهم  “Alloh benar-benar telah ridho kepda mereka( orang-orang yang mempunyai sifat khosyah dan taqwa kepada Alloh), sehingga nafsunya menjadi nafsu yang Mardhiyyah.
Adapun sifa-sifat Nafsu Mardhiyyah itu banyak sekali, diantaranya :                   1. حسن الخلق  Baik budi pekertinya. 2. اللطف بالخلق  Belas kasih kepada semua makhluk. 3. ترك ما سوى الله  Meninggalkan semua perkara selain Alloh.              4. التقرب الى الله  Taqorrub, mendekatkan diri kepada Alloh. 5.التفكر فى عظمة الله   Berfikir tentang keagungan Alloh. 6. الرضى بما قسم الله  Ridho dengan pembagian dari Alloh. Dan lain lain.   .  Adapun warna sinar/cahaya Nafsu Mardhiyah yaitu hitam. Tempatnya antara susu kanan dan dada, kira-kira dua jari,( لطيفة الخفي lathifah khofy).
(7). النفس الكاملة  Nafsu kamilah yaitu: Nafsu yang sudah bersih dari semua sifat-sifat madzmumah(tercela), dan sempurna sifat-sifat kebaikannya, dan juga welas asih kepada semua makhluk. Nafsu ini juga disebut nafsu shofiyyah (نفس صافية ). Nafsu Kamilah termasuk golongan orang-orang sholihin dan diberikan Musyahadah kepada Alloh didunia dan di akhirat.  Alloh berfirman dalam Al-qur’an : فادخلي في عبادي وادخلي جنتي.   “ (hai nafsu kamilah) Masuklah kamu didalam golongan hamba-hambaku (yang sholihin), dan masuklah kamu dalam surgaku”. (keterangan). Firman Alloh (فادخلي في عبادي)  itu ditafsiri   dengan :
 (اى مع الصالحين) وادخلي جنتي (اى مع الصالحين لتفوزي بالنعيم المقيم الى ان قال وادخلي جنة شهودى فى الدنيا ما دامت فيها وهي الجنة المعجله. وجنة الخلود فى العقبى وهذا النداء الواقع فى الدنيا يسمعه العارفون اما فى المنام او بالالهام .
Pengertian tafsir ini yaitu apabila nafsu sudah menjadi nafsu kamilah, karena sifat-sifatnya yang baik dan sempurna, maka Alloh dawuh dan memerintahkan supaya nafsu itu masuk kedalam golongan orng-orang yang sholih, dan masuk kedalam surganya Alloh. Adapun surga itu ada dua macam : 1. Surga didunia yaitu berupa Musyahadah ila-lloh. Dan 2. Surga diakhirat yang kekal. Panggilan dan pernyataan Alloh (dalam ayat diatas) itu bisa didengar oleh semua orang yang sudah Makrifat bi-llah, ada yang lewat mimpi dan ada pula yang melalui ilham. ( ket, dari kitab حاشبة الصاوى  juz 4, hal 318).
Adapun sifa-sifat Nafsu Kamilah itu banyak sekali, diantaranya : 1. علم اليقين ‘ilmul yaqin. 2. عين اليقين  ‘ainul yaqin. 3. حق اليقين  Haqqul yaqin. 4. العزلة  ‘uzlah (menyendiri dari maakhluk). 5. الصمت  Diam(dari perkataan yang jelek). 6. الصدق  Sidq(jujur). 7. الاعانة  Membantu pada makhluk. 8. الامتثال لاوامر الله  Memenuhi semua perintah Alloh. Dan lain lain. Adapun nafsu kamilah tidak mempunyai warna cahaya yang khusus, karena mengandung antara enam warna cahaya  nafsu yang tersebut diatas.. Tempatnya di tengah-tengah dada (لطيفة الاخفى lathifah Akhfa).
(Keterangan dari kitab الفيوضات الربانيه hal 34-38. Dan kitab قطر الغيث  hal 5).
Dalam kitab Tanwierul-qulub hal 465. Diterangkan :
{1}
والنفس: هي جوهر مشرق على البدن فان اشرق على ظاهر البدن وباطنه حصلت اليقظة وان اشرق على باطن البدن دون ظاهره حصل النوم وان انقطع اشراقه بالكلية حصل الموت
  “Nafsu yaitu: jisim(bentuk) halus yang bisa menyinari badan lahir dan batin maka akan menimbulkan terjaga(melek/tidak tidur). Apabila menyinari battin saja, maka akan menimbulkan tidur. Apabila terputus keseluruhan(tidak menyinari lahir batin), maka akan menimbulkan kematian.”
{2}
واصل كل معصية وغفلة وشهوة وشرك هو الرضا عن النفس. واصل كل طاعة ويقظة وعفة ومشاهدة عدم الرضا عنها
Asal usul/pokok dari pada kemaksiatan, ghoflah (lupa pada Alloh), syahwat (kesenangan), dan kemusyrikan itu sebab ridho dengan hawa nafsu. Dan asal usul/ pokok daripada ketaatan, terjaga (melek), terhindar dari barang haram, syubhat dan makruh, dan musyahadah (melihat Alloh), itu sebab tidak adanya ridho dengan nafsu. 
Firman Alloh :  واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فان الجنة هي المأوي “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”. 
 Rosululloh saw. Bersabda : لا يؤمن احدكم حتى يكون هواه تابعا لما جئت به         tidak sempurna iman seseorang kecuali hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa(yang dibawa nabi yaitu syari’at islam). Ket تفسير صاوي  juz 4 hal 286.

{3}
فحينئذ لاشئ انفع للعبد من تهذيب نفسه. ولها باعتبار تاثرها بالمجاهدات سبع مرات
Maka dari itu tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi hamba, kecuali membersihkan nafsunya.  Dan  untuk membersihkan nafsu supaya bisa berhasil, sebaiknya melalui mujahadah tujuh yang akan diterangkan selanjutnya.

MUJAHADAH DAN CARA MENGOBATI NAFSU
المجاهدة وعلاج الانفس السبعة
     Mujahadah menurut arti bahasa, yaitu Perang. Menurut arti syariat yaitu memerangi musuh Alloh, akan tetapi menurut arti istilah ulama’ ahli thoriqot/Haqiqot yaitu memerangi hawa nafsu, terutama nafsu Ammaroh.
Rosululloh saw. Bersabda : المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله  “orang yang berjuang (perang sejati) yaitu, orang yang perang melawan hawa nafsunya didalam masalah taat kepada Alloh.”
 Bahkan berperang melawan hawa nafsu, menurut Nabi disebut perang yang agung/besar, tentu balasannya juga besar.
 Rosululloh bersabda :
قد رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر قالوا وما الجهاد الاكبر يا رسول الله ؟ قال جهاد النفس
 “ Sebenarnya kita pulang dari perang kecil dan menuju ke perang yang besar, lalu para sahabat bertanya : perang besar apalagi ya Nabi? Nabi saw. Menjawab : perang besar yaitu perang melawan hawa nafsu”.
  Sebaiknya para ikhwan yang mengamalkan Thoriqoh, supaya melakukan mujahadah, sebab mujahadah itu termasuk penyebab wushul ila-lloh yang agung.  Syeih dhiya’ud-din Ahmad Mustofa berkata :                                 والمجاهدة فى الله من اعظم اسباب الوصول الى الله “Mujahadah karena Alloh itu termasuk penyebab wushul ila-lloh yang paling besar.”                                      Ket, kitab متممات جامع الاصول  hal 221.
Syeih Abu Ali Ad-Daqoq berkata :
من زين ظاهره بالمجاهدة حسن الله سرائره بالمشاهدة واعلم ان من لم يكن فى بدايته صاحب مجاهدة لم يجد من هذه الطريقة شمعة تنير له الطريق
 “ Barang siapa menghias angota lahirnya dengan mujahadah, maka Alloh memperbaiki anggota batinnya (hatinya) dengan Musyahadah. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang pada tingkat permulaannya tidak mujahadah, maka pelaksanaan thoriqohnya tidak akan menemukan penerang/nur, yang menerangi jalan menuju Alloh (wushul ila-lloh)”.    Ket, kitab رسالة القشيريه  hal 98.
Syeih Abdul Qodir al-Jilani ra. Berkata :

وقال الشيخ عبد القادر الجيلاني رضي الله عنه
قال لي ربي بطريق الالهام والكشف المعنوي


يا غوث الاعظم ” المجاهدة بحر من المشاهدة وحيتانه الواقفون فمن اراد الدخول فعليه باختيار المجاهدة لان المجاهدة بذر المشاهدة

يا غوث الاعظم طوبي لعبد مال قلبه الى المجاهده وويل لعبد مال قلبه الى الشهوات

يا غوث الاعظم اذا اردت ان تنظر الي في محل فاختر قلبا فارغا عن سوائى

(1). Alloh swt sudah dawuh kepadaku melalui ilham dan  mukasyafah : Hai Wali Ghouts yang agung, Mujahadah itu sebagai lautannya Musyahadah. Adapun ikan-ikannya yaitu orang-orang yang hatinya wukuf (berhenti) di hadapan Alloh.  Dan barang siapa ingin masuk ke lautan Musyahadah, maka harus menempuh cara mujahadah, karena mujahadah itu sebagai bibitnya musyahadah.
(2). Hai wali Ghouts yang agung , sangatlah beruntung orang yang hatinya condong/ingin sekali mujahadah, dan celaka bagi orang yang hatinya condong kepada kesenangan .
(3).  Hai wali Ghouts yang agung, apabila engkau ingin melihat aku pada suatu tempat, maka usahakan untuk mengkosongkan hati dari selain Aku.
   Bagaimana cara Mujahadah nafsi (memerangi hawa nafsu kita) ?
   Menurut keterangan dari kitab Tanwierul-qulub karya Syeih Muhammad Amin Al-Kurdy An-Nasyabandy ra. Hal 467. Tentang cara melawan hawa nafsu itu banyak sekali bisa melalui : Dzikir, Sholat, Puasa,Shodaqoh dan lain-lainnya tergantung  pada guru yang memberi petunjuk dan resep mujahadah nafsu.